Minggu, 04 April 2010

Artikel

INDEKS TERUS MELEJIT: SAAT BELI ATAU JUAL SAHAM?

Budi Frensidy - Staf Pengajar FEUI dan Penulis Buku Matematika Keuangan
Dimuat di Tabloid Bisnis Uang 31 Mei 2006

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ) semakin
menunjukkan keperkasaannya dengan terus naik dari minggu ke minggu dan ditutup
menembus 1500 untuk pertama kalinya pada Senin, 8 Mei 2006 yaitu di 1507, 926 dan
terus naik selama empat hari berturut-turut hingga ditutup di 1553,062 pada Kamis, 11
Mei 2006. Dibandingkan IHSG awal tahun, IHSG telah melonjak 33,6 persen, terbaik
di Asia. Banyak orang kemudian bertanya, ”Apa itu IHSG dan apakah sekarang saat
yang tepat untuk membeli saham/menambah portofolio saham atau sebaliknya
menjualnya (untuk mereka yang sudah mempunyai portofolio saham)? Apa
indikatornya?”
IHSG adalah indeks seluruh saham dalam BEJ (338 dari 340 saham tercatat)
yang dihitung berdasarkan nilai kapitalisasi dengan menggunakan tanggal 10 Agustus
1982 sebagai harga dasar penghitungan. Selama kurang lebih 24 tahun sejak
dicanangkan, IHSG telah naik 15,5 kali lipat yaitu dari 100 menjadi 1553 atau rata-rata
12,1 % per tahun. Menggunakan data historis beberapa tahun terakhir, kita akan
melihat kalau IHSG sudah naik terus menerus selama 4,5 tahun terakhir yaitu sejak
awal tahun 2002. Jika dihitung dari awal tahun 2003, IHSG telah naik 265,47 persen
yaitu dari 424,95 di awal tahun 2003 menjadi 1553. Ini berarti, investor yang membeli
saham secara langsung pada awal tahun 2003 dengan modal Rp 100 juta, uangnya
secara rata-rata akan menjadi Rp 365,47 juta pada saat IHSG mencapai 1553 jika dia
terus memegangnya hingga hari ini. Saya katakan rata-rata karena pada kenyataannya
ada yang nilai akhir investasi sahamnya lebih besar dan ada yang lebih kecil dari Rp
365,47 juta, tergantung pada pilihan saham dalam portofolionya dan sejauh mana
portofolio (diversifikasi) sahamnya menyerupai pasar secara keseluruhan. Demikian
juga untuk investor yang membeli saham secara tidak langsung yaitu melalui reksa
dana saham pada awal tahun 2003.
Apakah IHSG tahun ini dapat tumbuh sebesar 62,82 persen dan 44,56 persen
seperti pada tahun 2003 dan 2004 lalu sebagai terbaik kedua dan pertama di Asia
berturut-turut atau akan terjungkal dari 1500? Untuk menganalisa, ada beberapa
pendekatan yang bisa digunakan. Namun, untuk tujuan praktis, saya hanya
menggunakan dua saja yaitu pendekatan PER (price earning ratio) atau harga per
saham dibagi dengan laba per saham, sebagai yang paling populer dalam analisa
fundamental, dan analisa momentum atau momentum effect.
Analisa Price Earning Ratio (PER)
Penilaian saham berdasarkan PER menyatakan bahwa semakin rendah PER
suatu saham, semakin murah saham itu dan semakin menarik untuk dibeli. PER
berbanding terbalik dengan tingkat bunga (r). Dengan asumsi semua saham dalam BEJ
tidak mengalami pertumbuhan, PER wajar adalah sebesar 1/r. Jika tingkat bunga 10%
maka PER wajarnya adalah 1/10% = 10. Logikanya, sama seperti deposito, untuk
mendapatkan bunga atau earning 10%, kita mesti menyimpan 1 (simpan/bayar 1 untuk
dapat 10%). Kenyataannya adalah cukup banyak saham yang mengalami pertumbuhan
penjualan dan laba sehingga PER wajar sebesar 10 harus ditambah dengan faktor
pertumbuhan, katakan 5, menjadi 15. Angka ini yang sering dijadikan acuan PER wajar
di BEJ. Jika PER saham di bawah 15, saham masih relatif murah; dan di atas 15 sudah
relatif mahal.
2
Berapa PER rata-rata saham di BEJ? Ada yang mengatakan masih sedikit di
bawah 15 tetapi ada juga yang menghitung dan mendapatkan angka PER di BEJ sudah
22. Mana yang benar? Bisa saja hitungan PER berbeda karena yang satu menggunakan
laba per saham tahun 2005 sementara yang lain menggunakan laba kuartal I 2006
(Januari-Maret 2006) kemudian dikalikan 4 untuk mendapatkan estimasi laba tahun
2006. Berdasarkan analisa PER, harga saham di BEJ pastinya sudah tidak murah lagi
dan berada antara wajar (jika PER rata-rata adalah 15) hingga relatif mahal (jika PER
sudah 22) sehingga kecenderungannya ke depan adalah akan stabil atau turun.
Analisa Momentum (Momentum Effect)
Jika analisa PER dan analisa fundamental lainnya menggunakan laporan
keuangan sebagai acuannya, tidak demikian dengan analisa momentum. Yang menjadi
dasar pertimbangan dalam analisa momentum adalah adanya momentum tertentu yang
menggerakkan terjadinya volume, frekuensi, dan nilai transaksi saham dalam jumlah
besar yang tidak biasa. Mengenang kenaikan tajam IHSG pada akhir tahun 2004,
investor saham umumnya masih ingat kalau hal itu lebih disebabkan suksesnya Pemilu
2004 diikuti dengan terbentuknya kepemimpinan nasional yang mendapat dukungan
rakyat. Lonjakan IHSG tahun ini pun dipicu oleh momentum masuknya dana asing ke
pasar uang dan pasar modal Indonesia secara berkesinambungan dalam jumlah
kumulatif lebih dari US$ 20 miliar mulai awal tahun. Mengingat investor asing
menguasai 70 hingga 75 persen kapitalisasi saham BEJ, fakta bahwa mereka masih
terus menerus memburu saham sudah tentu merupakan pertanda (signal) yang sangat
positif untuk pasar saham dan IHSG. Empat hari berturut-turut mulai Senin hingga
Kamis minggu lalu (8-11 Mei 2006) investor asing masih melakukan net buy atau lebih
banyak beli daripada jual dengan selisih ratusan miliar rupiah per hari.
Berdasarkan analisa ini, kita bisa memprediksi kalau IHSG masih akan terus
menguat kalau aksi borong oleh investor asing terus berlanjut, IHSG akan relatif stabil
dengan kecenderungan turun jika asing mulai berhenti memburu saham di BEJ, dan ada
kemungkinan IHSG akan turun secara drastis jika para investor asing menjual
sahamnya dalam jumlah besar untuk dipindahkan ke negara lain yang tingkat
pengembaliannya lebih menarik. Berbeda dengan investasi asing dalam sektor ril,
investasi asing dalam portofolio saham atau pasar keuangan lainnya bersifat mudah
masuk dan mudah keluar. Istilah populernya, harga saham dan indeks bisa saja
bergerak seperti roller-coaster, seperti kejadian IHSG pada tahun 1997-1998 yang
turun hingga lebih dari 60% dalam waktu sekitar 15 bulan karena krisis ekonomi.
Naiknya pelan-pelan tetapi turunnya hanya dalam sekejap.
Kalau skenario terakhir ini yang terjadi, investor domestik yang bermodal kecil
dengan strategi ’ikut-ikutan asing’ (follower) akan gigit jari terutama mereka yang baru
masuk pada hari-hari terakhir ini. Intinya, dalam pasar modal berlaku pepatah ”Big is
powerful” dan bukan ”Small is beautiful” karena yang bermodal besarlah yang punya
kekuatan sementara yang kecil akan ketinggalan. Fenomena bahwa aksi investor asing
menentukan pergerakan indeks atau pasar secara keseluruhan adalah khas untuk pasar
modal berkapitalisasi kecil dengan porsi terbesar dipegang asing seperti di BEJ.
Ke depan, apakah IHSG akan mengulangi prestasinya dalam 4 tahun terakhir
atau seperti indeks Dow Jones yang relatif stabil dalam 7 tahun terakhir dari 11.497,12
(akhir tahun 1999) menjadi 11.380,99 (12 Mei 2006) atau seperti indeks Nikkei yang
turun fantastis 57,93 persen dalam 17 tahun dari 38.916 di akhir tahun 1989 menjadi
16.372,49 pada 12 Mei 2006, akan lebih banyak ditentukan oleh aksi investor asing.
Tingginya Nikkei hingga mencapai 38.916 karena optimisme dan spekulasi yang sangat
berlebihan di pasar saham dan pasar properti Jepang pada saat itu.
3
Kesimpulan dan Tips untuk Investor
Jika dilihat dari PER, saham-saham di BEJ sudah tidak murah lagi. Namun, jika
kita melihat momentum, masih ada potensi kenaikan sekitar 10%-15% dalam 6-12
bulan ke depan jika investor asing tidak balik arah. Memangnya mau naik sampai
berapa sih? Jika Anda saat ini belum memiliki portofolio saham, saran saya jangan
masuk sekarang. Kalau Anda masih penasaran, silahkan Anda alokasikan 10%-15%
dari portofolio Anda untuk dimasukkan reksa dana saham dan jangan lebih dari itu
untuk saat ini. Biarkan manajer investasi mengelola uang Anda, memutuskan beli dan
jual saham apa untuk Anda. Mengalokasikan seluruh harta Anda dalam saham baik
langsung (Anda yang memutuskan sendiri kapan jual-beli saham apa) atau tidak
langsung (melalui reksa dana saham) adalah sangat berisiko, apalagi pada saat ini.
Berinvestasi 100% dalam saham bisa membuat Anda mengalami kerugian 30 hingga 40
persen dalam setahun. Seimbang dengan kemungkinan untungnya. IHSG bahkan
pernah merosot 65,33 persen pada saat kriris moneter dari 740,83 (8 Juli 1997) menjadi
256,83 (21 September 1998). Ingat, tidak ada pesta yang tidak berakhir. Anda mungkin
masih kebagian kue dan makanan yang enak jika Anda datang dan pesta masih
berlangsung, tetapi mungkin juga Anda hanya kebagian pekerjaan cuci piring. Selamat
berinvestasi.
Depok, 12 Mei 2006
Budi Frensidy
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar